Young to day-Leader tommorow ,demikian ‘kata bijak’ yang sering dinasehatkan kepada generasi muda untuk mensemangati mereka agar bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan dirinya untuk menjadi leader pada saatnya,antara lain dengan menuntut ilmu sampai kejenjang Pendidikan Tinggi. Namun impian untuk menjadi leader tidak mudah, banyak yang kandas di tengah perjalanan,disebabkan tidak ada kesempatan untuk menuju kesana.Apalagi sebagai leader,kesempatan untuk berkaryapun belum diperoleh,sebagaimana sering kita baca pada berbagai media,bahwa banyak lulusan pendidikan tinggi yang menganggur,dan disisi lain juga sering diberitakan ratusan program studi di banyak perguruan tinggi ditutup karena sudah jenuh.
Menjadi pertanyaan besar bagi penulis, apakah betul Indonesia sudah kelebihan intelektual sehingga pasar tidak mampu menampung ? Dan hal itu pula yang menyebabkan ratusan program studi ditutup ? Kalau memang intelektual di Indonesia sudah berkelebihan,mengapa mereka belum juga mampu mengabdikan ilmunya untuk kemaslahatan masyarakat ? Mengapa kehidupan anggota masyarakat masih banyak yang belum sejahtera ? Apakah ada yang salah dalam membekali para lulusan sehingga pasar (masyarakat) tidak bisa memanfaatkan ?
Karenanya,penulis menjadi tersentak,saat pak Tamzil yang Bupati Kudus,menulis dalam harian ini pada tanggal 16 pebruari 2008 berjudul Mendidik Generasi Wirausaha, yang pada esensinya beliau berpendapat bahwa pendidikan bukan sekedar untuk mencetak generasi terampil,memiliki kompetenesi tinggi dan relevan ,tetapi harus mencetak generasi enterpreneur,generasi dengan jiwa wirausaha. Kemudian beliau mencontohkan Universitas Muria Kudus (UMK) yang membekali semua mahasiswanya dengan ketrampilan wirausaha ,yang nantinya merupakan salah satu trade mark lulusan UMK. Lebih jauh pak Tamzil menyatakan bahwa hendaknya pendidikan harus mampu membawa generasi terdidik untuk menciptakan pekerjaan.
Dari pendapat pak Tamzil tersebut,penulis mencoba menyimpulkan,bahwa sebenarnya peranan lulusan pendidikan tinggi masih banyak diperlukan oleh masyarakat,yang untuk itu perlu bekal yang cukup,antara lain jiwa enterpreneur yang merupakan soft skill bagi setiap lulusan.
Menurut hemat penulis,soft skill akan dapat dipunyai oleh setiap peserta didik,apabila kurikulum yang digunakan oleh lembaga pendidikan menunjang terwujudnya soft skill tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut Menteri Pendidikan Nasional dengan Kepmendiknas Nomor 045/4/2002 telah menyempurnakan kurikulum pendidikan tinggi dari Kurikulum berdasar Isi (content based curiculum) menuju Kurikulum berdasar Kompetensi (competency based curiculum). Dengan kurikulum ini setiap lulusan pendidikan tinggi hendaknya mempunyai : (1) kemapuan berlandas kepribadian ,memiliki kecerdasan emosional yang tinggi ( emosional quetiont ). (2) kemampuan menguasai IPTEKS sesuai dengan keahliannya (know how,know why ).Ini merupakan kemampuan intelektual yang memang menjadi ciri seorang lulusan pendidikan tinggi (intelectual quetiont). (3) kemampuan berkarya (know to do). Kemampuan untuk menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari,termasuk kemampuan untuk menciptakan pekerjaan sesuai dengan bekal ilmu yang dimiliki. (4) kemampuan menilai dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab ( to be ). (5) kemampuan bekerjasama dan hidup bermasyarakat (to live together).dan (6) kemampuan untuk merasakan bahwa semua aktivitas yang dilakukan adalah perwujudan dari tugas manusia sebagai khalifah dan abdi Allah di muka bumi yang ditugasi untuk mewujudkan rahmatan lil alamiin.Inilah yang sering disebut kecerdasan spiritual (spiritual quetiont ).
Langkah konkrit untuk mewujudkan lulusan pendidikan tinggi supaya mempunyai 6 kemampuan tersebut Penduidikan Tinggi hendaknya melakukan penyusunan “scientific vision”yang seiring dengan penyusunan “market signal”. Mengutamakan yang satu dengan mengabaikan lainnya akan mengakibatkan lulusan sulit diterima oleh pasar,karena hanya menitik beratkan pada “market signal”akan menghasilkan lulusdan yang “out of date”,karena karakteristik pasar yang perubahannya sangat cepat;sebaliknya hanya menitik beratkan pada “scientific vision” akan menghasilkan lulusan yang kurang compatable dengan kebutuhan pasar. Untuk itu koordinasi antara Pendidikan tinggi dengan stake holders setiap waktu tertentu harus intensif dilakukan untuk mengimplementasikan “scientific vision”supaya dapat seiring dengan “market signal”.
Dosen dalam hal ini tidak sekedar sebagai “agen ilmu”yang mendistribusikan ilmunya dari buku ke otak mahasiswa,namun dituntut untuk mempunyai kemampuan (1) memotivasi mahasiswa;(2) menguasai subjek kajian,sehingga mampu berperan sebagai dinamisator dan fasilitator pembelajaran;(3) mampu merekonstruksi basis pengetahuan serta methoda pembelajaran serta (4) menguasai kurikulum dan kemampuan paedagogis,serta yang tidak boleh dilupakan (5) kemampuan untuk merasa bahwa yang mereka kerjakan merupakan tugas mulia mempersiapkan generasi mendatang dalam rangka kemaslahatan masyarakat sebagai ujud pertanggungjawaban sebagai seorang khalifah dan hamba Allah. (mempunyai kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi). Dengan tuntutan kemampuan dosen tersebut,pembelajaran yang berorientasi pada dosen ( Teaching Centered Learning/TCL) berubah menjadi berorientasi pada peserta didik (Students Centered Learning/SCL).
Apabila langkah-langkah ini dilakukan oleh setiap insan yang bekecimpung di dunia pendidikan tinggi,merupakan suatu keniscayaan,lulusan yang dihasilkan akan dapat diterima oleh masyarakat,terserap oleh pasar,mampu berperan sebagai ‘agen pembaharuan’ , karena kiprahnya didasari atas tiga kecerdasan yang mereka punyai yaitu kecerdasan intelektual,kecerdasan emosional dan kecerdaan spiritual yang terintegrasi dalam kesatuan sikap dan tindak. Semoga
*) Ivandhy setya rachman; Dosen Undip

Tidak ada komentar:
Posting Komentar